Orang Indonesia mungkin bangga karena kopi luwak yang asli Indonesia pernah menjadi kopi termahal di dunia. Namun sayangnya, masih banyak yang tidak mengerti apa sebenarnya kopi luwak itu. Banyak yang mungkin masih tertipu oleh beberapa merk dagang yang menyebut nama luwak, namun sebenarnya tidak berhubungan dengan luwak sama sekali.
Supaya tidak salah lagi, mari kita bahas lebih lanjut.
Sejarah Kelam Kopi Luwak
Konon kabarnya, kopi ini ditemukan secara tidak sengaja pada masa penjajahan Belanda. Sistem tanam paksa (cuulturstelsel) mewajibkan petani menanam kopi, teh, tembakau, dan tebu. Tanaman ini memiliki nilai jual tinggi di dunia dagang internasional. Dengan sistem tanam paksa, petani Indonesia menjual hasil kebun mereka dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak. Bukan hanya itu, petani pun dilarang menikmati hasil tanam mereka sendiri. Hukuman berat diberikan bagi siapa saja yang “mencuri” hasil kebun mereka sendiri. Seluruh hasil panen, harus dijual dengan harga rendah kepada pihak VOC sebagai pajak atas penggunaan lahan.
Di saat sulit seperti itu, para petani kopi mulai memperhatikan sebuah kejadian alamiah. Kopi Indonesia, yang sejak dulu sudah berkualitas tinggi, mulai menarik perhatian hama pengganggu. Adalah luwak, hewan sejenis musang, salah satu hama yang kerap muncul di waktu panen, saat buah-buah kopi mulai masak. Para petani memperhatikan bahwa luwak memiliki keterampilan dalam memilih buah kopi yang paling masak. Tentunya hal ini sangat merugikan bagi kondisi kebun kopi. Namun mungkin karena kebencian terhadap pihak penjajah, para petani tidak pernah secara serius mengusir hama luwak dari kebun mereka.
Diperhatikan lebih lanjut, buah kopi yang dimakan oleh luwak ternyata tidak berhasil dicerna sepenuhnya. Selalu terdapat biji kopi utuh pada kotoran luwak. Entah siapa yang mulai, hasrat minum kopi yang sangat tinggi mendorong petani mencuci kotoran luwak tersebut. Petani membersihkan hasil pencernaan hewan pemakan buah tersebut demi mendapatkan beberapa butir biji kopi bersih untuk diseduh. Pihak penjajah pun tidak melarang petani menikmati kopi dari kotoran luwak. Mungkin karena jijik, mungkin karena kasihan, mungkin juga karena ingin menertawakan.
Namun tak disangka. Kopi hasil pencernaan luwak tersebut memiliki karakter yang unik. Aroma dan rasanya begitu memikat. Petani pun akhirnya dapat mencicipi kopi hasil kebunnya, dengan rasa yang mungkin lebih istimewa. Namun kabar yang nikmat mulai didengar oleh VOC. Tak lama, kopi ini pun mulai dikonsumsi pihak penjajah. Petani kopi lagi-lagi hanya kebagian mencari dan mencuci kotoran luwak saja.
Kopi Luwak di Masa Kini
Mahalnya harga membuat luwak mulai diternak secara masal. Keberadaan luwak liar mulai langka, digantikan oleh kandang-kandang luwak di pinggir perkebunan kopi.
Kualitasnya sendiri sangat ditentukan oleh kesehatan, tingkat stres, dan keterampilan luwak dalam mencari makan sendiri. Seringkali luwak yang diternakkan tidak mendapatkan perlakuan yang layak sehingga kesehatannya menurun dan luwak menjadi stres. Luwak adalah hewan yang teritorial sehingga tak jarang terjadi perkelahian di kandang luwak yang sempit. Buah kopi yang diberikan untuk pangan pun tidak lagi dikontrol kualitasnya demi memenuhi kuota permintaan pasar.
Memang tak semua petani dan peternak kopi memperlakukan luwak dengan semena-mena. Tapi mungkin dibutuhkan regulasi dari pemerintah untuk mencegah abuse terhadap hewan liar ini. Edukasi juga perlu diberikan kepada petani dan peternak agar kopi luwak mereka tetap berkualitas tinggi.
Rasa Kopi Luwak
Banyak pendapat mengenai rasa kopi luwak. Doyo Soeyono Kertosastro, salah satu petani kopi Indonesia yang pernah diwawancara oleh majalah National Geographic pada tahun 1981 menyebutkan “Luwak memilih buah kopi yang paling matang dan paling baik di pohon. Luwak mencerna daging buah kopi dan mengeluarkan bijinya sebagai kotoran yang kemudian kami kumpulkan, cuci, dan sangrai dengan hati-hati. Pencernaan di dalam perut luwak menghasilkan fermentasi alami yang mengubah rasa kopi. Untuk kami petani Jawa, kopi luwak adalah kopi yang terbaik.”
Namun sebuah blind test yang dilakukan oleh coffee cuppers Specialty Coffee Association of America menyebutkan bahwa pencernaan luwak justru menghilangkan beberapa senyawa yang membuat kopi terasa enak. Kopi luwak terasa hambar, tanpa adanya rasa yang menonjol. Kesimpulan umum yang didapatkan SCAA adalah kopi luwak berharga mahal bukan karena rasanya yang nikmat, namun karena kelangkaan dan prosesnya yang tidak biasa.
Riset yang dilakukan oleh Massimo Marcone ilmuwan makanan di University of Guelph, Kanada menunjukkan bahwa enzim pencernaan luwak menyerap ke dalam biji kopi. Di dalam perut luwak yang hangat, biji kopi mengalami germinasi sehingga rasa pahit kopi menjadi berkurang. Namun enzim yang menyerap ke dalam biji kopi ikut menghancurkan zat lain yang bertanggung jawab pada rasa dan aroma kopi.
Saat ini kopi luwak bukan satu-satunya kopi yang berasal dari kotoran hewan. Ada black ivory coffee, kopi dari kotoran gajah Thailand. Ada juga kopi kotoran burung Jacu dari Brazil dan kopi kotoran monyet dari India. Rasanya? Silakan coba sendiri